SunanKalijaga juga dikenal dengan nama lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat berendam di sana, ia sering berendam di sungai (kali) atau dalam bahasa Jawa disebut jaga kali. Baca juga: Sunan Kalijaga, Berdakwah

Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Bahasa Jawa sebagian besar banyak digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sama-sama bahasanya, namun yang membedakan adalah tata bahasanya. Meskipun berbeda-beda tetap satu bahasa yaitu bahasa Jawa. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, “Wong Jowo sing ora njawani” Orang jawa yang tidak mengerti jawa’nya sendiri. Berikut rangkuman filosofi Jawa yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga, yang mungkin sering kali kita dengar atau pernah mendengarnya 1. Urip Iku Urup-Hidup itu nyala, yakni bisa berguna buat sesama manusia “Hidup itu nyala, hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik”. Hidup itu seperti lampu atau lilin dan sejenisnya yang mampu memberi manfaat penerangan bagi yang membutuhkan. Ada yang hidup hanya sekadar hidup, namun tak memberi manfaat bagi sekitar. Dan juga hidup bersosial itu perlu. Kita tak bisa hidup sendiri, semua pasti saling membutuhkan karena kita diciptakan sebagai makhluk Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro “Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak”. Mengusahakan mengupayakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia. Dapat diartikan juga bahwa kita hidup di dunia ini hendaknya senantiasa mengusahakan dan menjaga keselamatan hidup kita sendiri dan kehidupan di sekitar kita dengan mempedulikan ciptaan Allah yang lain. Hal ini bertujuan supaya kehidupan kita menjadi selaras dan dinamis. 3. Suro Diyo Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti “Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar”. Keras hati adalah tidak peduli terhadap kesusahan dan penderitaan orang lain. Seseorang yang hatinya mengalami kondisi tersebut tidak merasakan kepedihan dan penderitaan orang lain. Sumber keras hati adalah hawa nafsu. Hendaknya kita mengontrol nafsu kita dengan bijak agar tidak terlanjur keras picik adalah sifat sempitnya tentang pandangan, pengetahuan, pikiran, dan sebagainya. Maka jadilah orang yang “longgar” terbuka. Karena orang yang terbuka dan tidak berpikiran sempit selalu memandang bahwa dari orang yang paling kecil pun, ia bisa belajar banyak dari mereka atau dari hal yang paling keliru pun, ada hal positif yang bisa diambil. Apalagi sifat angkara murka yang berarti kebingisan dan ketamakan yang jelas menjadi sifat yang tidak patut ditiru dan hanya menjadi celaka diri sendiri. 4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondo “Berjuang tanpa perlu membawa massa; menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; kaya tanpa didasari kebendaan”. Kita harus 'maju perang', namun kita harus berangkat sendiri, tidak diperbolehkan membawa 'pasukan'. Berjuang tanpa membawa massa. Mengapa demikian? Karena kita harus berperang melawan “diri sendiri'. Ungkapan Jawa, menang tanpa ngasorake tersebut memiliki arti bahwa tujuan pencapaian kita yang kita harapkan, kemenangan yang kita inginkan, haruslah tanpa merendahkan orang tanpa mengandalkan kekuatan, berarti suatu kekuasaan tercipta karena citra dan wibawa seseorang, perkataannya, membuat orang lain sangat menghargainya. Sehingga apa yang diucapkannya, orang lain senantiasa mau mengikutinya. Kaya tanpa didasari kebendaan, kaya yang dimaksud sebenarnya adalah tidak berkekurangan, artinya bukan semata-mata harta yang menjadikan tolak ukur. Kaya yang dituju dalam hidup bukanlah pengumpulan harta benda dan uang selama hidup. 5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan “Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; jangan sedih manakala kehilangan sesuatu”. Musibah tak pernah lepas dari manusia, namun jangan gampang menyerah. Sedih dan sakit hati, apalagi berburuk sangka dengan Sang Pencipta. Semua itu ujian bagi kita. Perlu diingat bahwa Allah tidak akan memberikan ujian yang melapaui batas makhluk-Nya. Jika kita tidak tergesa-gesa, mau bersabar dan berpikir jernih pasti ada jalan keluar atau solusinya. Yakinlah! Di balik kesulitan, ada kemudahan yang begitu dekat. 6. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman “Jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut-kejut, jangan mudah kolokan atau manja”. Jangan mudah terheran-heran adalah pelajaran untuk kita tidak mudah heboh atas sebuah peristiwa atau kejadian yang kita lihat. Kehebohan itulah yang justru membuat kita terlihat bodoh. Sikapi segala sesuatu dengan tenang dan anggap semuanya adalah kewajaran yang luar mudah menyesal adalah pelajaran untuk selalu menyadari bahwa setiap hal yang kita putuskan selalu mempunyai resiko, dan atas resiko yang terjadi maka kita harus selalu siap. Sesal kemudian tidak berguna. Selalu berpikir postif dan belajar atas semua kejadian adalah hal yang lebih mudah terkejut adalah pelajaran untuk kita bersikap waspada, mawas diri, fleksibel, dan tidak reaktif. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Oleh karenanya, jangan pernah meremehkan sesama. Bersikaplah secara wajar dan mudah kolokan atau manja, hidup kita adalah tanggung jawab kita. Setiap kewajiban kita perlu dikerjakan tanpa harus mendapat pujian dan sanjungan. Hidup tidak selalu mudah, tidak perlu berkeluh-kesah dan merengek, karena mengeluh dan merengek tidak akan menyelesaikan masalah kita. Hidup itu mesti diperjuangkan dengan penuh Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan Lan Kemareman “Jangan terobsesi atau terkukung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi”. Hidup ini bukan hanya tentang memiliki kedudukan yang tinggi yang dapat disegani oleh sekitar, sehingga kebendaan atau kekayaan yang menjadi tolak ukur atas tingginya martabat diri. Namun, semua itu hanya menuju ke kepuasan duniawi, dan seakan lupa kita mempunyai jiwa dan hati nurani yang sebenarnya berat menyangga semua itu. Nafsu yang menikmati, tapi hati yang bersih dapat ternodai. 8. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko “Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka”. Manusia terkadang tidak bisa mengontrol diri ketika dia merasa pandai, sehingga menghalalkan kepandaiannya untuk berbuat curang, yang sebenarnya menjadi jurang celakanya sendiri. Teringat kata seseorang “Seorang guru itu bisa siapa saja. Siapa saja bisa menjadi guru; asal sesuatu darinya bisa di gugu dipercaya dan diikuti ucapan-ucapannya dan aku tiru contoh. Boleh jadi kalian, atau di antara kalian diam-diam adalah guru-guruku dalam berbagai hal dan bidang”. Bisa jadi kepandaian kita berasal belajar dari apapun yang di sekitar kita yang dianggap biasa, namun tidak kita sadari. Oleh karena itu, kita tidak bisa merasa paling pandai hingga menjadi sombong. Seseorang yang pandai bisa dimulai belajar dari sesuatu yang kecil dan mengarahkannya pada jalan yang baik. 9. Ojo Milik Barang kang Melok, Ojo Mangro Mundak Kendo “Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah. Jangan berpikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat”. Manusia rentan tergoda oleh sesuatu yang wah’ di matanya, hingga lupa apa yang menjadi tujuannya. Yang seharusnya dia berjalan lurus, namun bisa berbelok arah. Untuk melangkah dan mengambil keputusan harus lebih berhati-hati, perlunya pertimbangan yang matang guna mendapatkan keputusan yang baik dan benar, sehingga bisa meminimalisir resiko kesalahan dan akhirnya tidak ada lagi penyesalan yang Ojo Adigang, Adigung, Adiguno “Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti”. Nah, untuk ini sudah pasti banyak yang mendengar kata-kata yang cukup sederhana dan mudah dimengerti. Tidak perlu menjadi yang paling berkuasa, yang paling besar kedudukan dan martabatnya, dan yang paling sakti atau kuat dirinya. Karena semua itu akan menjadikan kita perpecahan dan buta akan kebhinekaan atau keberagaman yang seharusnya menjadi warna layaknya kamu mungkin bukan orang Jawa, memaknai filosofi tadi juga nggak ada salahnya, kok. Toh, jika itu baik, kenapa nggak? 🙂

Yangdisertai dengan keyakinan yang tinggi dalam berdoa dan mengerti makna doa yang diucapkan. Seperti, bahasa Sunan Kalijaga itu Jawa maka beliau menyusun lah doa-doa yang berbahasa Jawa, agar dapat dipahami oleh orang Jawa. Pada saat itu Sunan Kalijaga sudah memeluk agama Islam. Kemudian sunan Kalijaga mentransformasikan agama Islam oleh kepada Orang-orang Jawa. Yang menurut orang Jawa bahwa Agama Islam itu terasa asing bagi mereka. Sunan Kalijaga memiliki doa utama ketika malam hari yaitu Selain tembang Ilir-ilir, salah satu karya Kanjeng Sunan Kalijaga yang terkenal adalah kidung Rumeksa ing Wengi. Kidung itu berisi tentang permohonan kepada Tuhan agar diselamatkan dari segala macam marabahaya dan wabah penyakit yang berpotensi mengancam nyawa.“Sunan Kalijaga menyusun beberapa doa dalam bahasa Jawa. Doa-doa yang disusunnya itu berupa kidung atau mantra. Di antara doa-doa dari Sunan, yang amat terkenal adalah kidung Rumeksa ing Wengi [perlindungan pada malam hari],” jelas Achmad Chodjim dalam bukunya yang berjudul Sunan Kalijaga Mistik dan masa lalu, dalam kondisi pageblug atau merebaknya wabah penyakit seperti kasus Covid-19 sekarang ini, kidung Rumeksa ing Wengi sering kali dilantunkan masyarakat pada sore atau malam hari, khususnya saat ingin melaksanakan salat melantunkannya, biasanya orang Jawa juga mengiringnya dengan harapan baik agar terhindar dari segala macam bahaya yang tampak oleh mata maupun yang tidak.“Kidung ini juga dimaksudkan untuk membebaskan diri dari serangan berbagai penyakit. Baik yang bersifat fisik maupun kejiwaan. Karena itu, di dalam baitnya dinyatakan dengan tegas bahwa kidung ini menyelamatkan diri dari penyakit, semua petaka, jin dan setan, dan perbuatan orang yang salah,” tulis doa yang dipercaya berkhasiat mengobati, kidung itu juga dikenal dengan sebutan Mantra Wedha atau doa penyembuhan. Masyarakat Jawa percaya jika kidung tersebut dibaca dengan penuh keyakinan, akan ampuh menangkal segala macam bala dan melafalkannya pun tidak sembarangan. Bukan hanya sekedar membaca bait per bait dengan irama yang datar-datar saja. Namun, harus dilafalkan dengan penuh penghayatan dengan irama macapat khas masyarakat yang sangat kental dengan tradisi olah rasa, orang Jawa meyakini jika dibaca dengan penghayatan yang tinggi, kidung ini akan memunculkan energi positif yang berguna bagi perlindungan diri orang yang melafalkannya.“Mantra atau doa hanyalah sarana. Kekuatan kidung, bukan lahir dari olah pikir. Daya dan kekuatan kidung berasal dari olah rasa. Di dalam olah rasa itulah, bagi orang yang membacanya dengan keyakinan, rasanya akan tersambung dengan Allah,” terang Chodjim yang juga menulis buku Syekh Siti Orang Jawa Menghindari PerselisihanDalam salah satu baitnya, berbunyi, “sakehing lara pan samya bali. Sakeh ngama pan sami miruda welas asih pandulune.” Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan sini memperlihatkan, bahwa orang Jawa memang cenderung memilih menghindari perselisihan. Kalimat “semua hama menyingkir dengan pandangan kasih”, menurut Chodjim, merupakan simbol dari karakter orang Jawa yang selalu ingin hidup dengan penuh welas selalu ingin hidup harmonis antara sesama manusia dan alam sekitarnya. Bahkan terhadap hal-hal yang bisa merugikannya sekalipun, orang Jawa seringkali tetap ingin bersikap welas asih dan tidak mau berselisih. Tetap ingin hidup harmonis dan itu juga tergambar dalam makna dari kidung Rumeksa ing Wengi karya Sunan Kalijaga. Menurut Chodjim, kidung ini juga tidak memiliki tujuan untuk melawan bala atau menghancurkan penyakit yang berpotensi membahayakan nyawa. Namun, lebih bertujuan untuk menjadi sarana memohon perlindungan kepada Tuhan. Supaya segala hal yang merugikan itu, menyingkir dengan sendirinya tanpa perlu dilawan atau Belakang TerciptanyaKondisi pageblug atau merebaknya wabah penyakit seperti pandemi Covid-19 seperti sekarang ini sudah pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1409, ketika Kerajaan Demak berkuasa dan dipimpin oleh Raden itu muncul wabah penyakit yang oleh masyarakat disebut Lelepah. Karena wabah itu, banyak orang yang meninggal secara mendadak. Dikutip dari 6/4/2020, “banyak orang meninggal dengan cepat hitungan jam saja.”Lelepah sungguh membuat panik masyarakat dan penguasa waktu itu. Raden Patah yang berkuasa waktu itu, memutuskan untuk meminta pertimbangan Wali Sanga-dewan wali yang beranggotakan sembilan ulama penyebar agama Islam-untuk menyelesaikan masalah seluruh anggota dewan Wali Sanga yang hadir saat itu, Kanjeng Sunan Kalijaga membuat syair atau rangkaian doa-doa dalam bahasa Jawa berupa kidung atau mantra. Mantra itu kemudian dikenal dengan nama kidung Rumeksa Ing salah satu anggota WaliSanga yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa, Sosok Sunan Kalijaga memang dikenal memiliki pandangan yang lebih pragmatis dibanding anggota Wali Sanga lainnya. Pragmatis dalam arti memilih suatu cara yang mudah dipahami dan dimanfaatkan biasa menyebarkan pahamnya melalui cara-cara yang halus, seperti menggunakan akulturasi budaya. Kidung Rumeksa ing Wengi juga merupakan salah satu caranya untuk mendekati masyarakat yang saat itu sangat menggemari ngidung atau ngidung maupun nembang, keduanya merupakan klangenan masyarakat Jawa dalam merefleksikan hidupnya. Kerap kali, kebiasaaan itu diiringi dengan kegemaran mendengarkan lantunan gamelan Jawa, yang biasa disebut Sunan Kalijaga kegemaran masyarakat itu diakulturasi dengan bebagai hal yang bernilai islami. Seperti kidung Rumeksa ing Wengi ini, bila ditilik lebih jauh makna dalam bait-baitnya. Sebenarnya mengandung doa-doa yang sangat dekat dengan ajaran karena pada waktu itu masyarakat di Jawa lebih terbuka terhadap hal-hal yang berasal dari budayanya sendiri, Sunan Kalijaga berinisitaif mengubah doa-doa itu, ke dalam bahasa yang dipahami Dr. Purwadi Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara Lokantara, kidung Jawa menggambarkan kesadaran batin masyarakat Jawa atas segala sesuatu pasti diciptakan secara seimbang oleh Tuhan Yang Maha Esa.“Filsafat Cina mengenal ajaran Yin Yang. Pujangga Jawa menyebut gambuhin jagat gumelar dan jagat gumulung. Ekuilibrium antara makrokosmos dan mikrokosmos,” tutur Purwadi, dikutip dari zaman modern ini, mungkin tidak banyak orang yang mengenal kidung Rumeksa Ing Wengi karya Sunan Klijaga. Kendati demikian, warisan intelektual Kanjeng Sunan Kalijaga ini patut dilestarikan sebagai simbol kearifan lokal. Selain itu, juga bisa menjadi sarana untuk memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan penyakit seperti pandemi Covid-19 sekarang Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat Achmad Chodjim Atlas Wali Songo Agus Sunyoto berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
KataBijak Islami Bahasa Jawa 8 0 8 Apk Androidappsapk Co. Quotes atau kata kata bijak bahasa Jawa merupakan kutipan mutiara hikmah yang syarat akan makna. Kata Bijak Bahasa Jawa Kuno Sunan Kalijaga. Bagi orang Jawa tentu sudah tidak asing dengan sebagian kata bijak Jawa tersebut.
LirikLingsir Wengi yang asli oleh Sunan Kalijaga dalam Bahasa Jawa: Lingsir wengi Sepi durung biso nendro Kagodho mring wewayang Kang ngreridhu ati Kawitane Mung sembrono njur kulino Ra ngiro yen SunanKalijaga juga menyusun beberapa doa dalam bahasa Jawa. Doa-doa yang telah dibuat oleh Sunan Kalijaga berupa "kidung atau mantra" dan yang paling terkenal adalah " kidung rumeksa wengi ". Menurut Ahmad Chodjim, kidung Sunan Kalijaga dikenal sebagai " Mantra Wedha ", doa penyembuhan. Berguna untuk penyembuhan dan perlindungan diri.

Terdapatbanyak manfaat yang bisa didapatkan jika seseorang mau mengamalkan doa dan amalan dari yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Salah satunya adalah mendapatkan kemuliaan hidup dan keberkahan dari Allah SWT. Diketahui bahwa selama hidupnya, Sunan Kalijaga selalu melakukan sholat hajat sebanyak 4 rakaat setiap malam. Adapun ketentuan sholat hajat yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga antara lain :

I7p52aC. 80 418 292 312 48 17 90 345 246

doa sunan kalijaga bahasa jawa